ringkasan tarikh tasyri

Ringkasan Tarikh Tasyri untuk UAS
Pak Umar Al hadad
A.    Beberapa istilah penting dalam tarikh tasyri
1.      Syari’ah ,  secara bahasa berarti metode atau jalan yang lurus,  juga berarti sumber mata air yang di jadikan tempat untuk minum. dan secara istilah adalah apa yang di syari’atkan oleh Allah swt kepada hamba-hambanya dari hukum-hukum yang telah di bawa oleh seorang nabi di antara para nabi, baik yang terkait dengan keyakinan, ibadah muamalah, akhlaq dan aturan dalam kehidupan.
2.      Fiqh, secara bahasa fiqih berarti mengetahui dan memahami sesuatu. Secara istilah fiqh berarti ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah yang di ambil dari dalil-dalil terperinci
3.      Perbedaan syari’ah dan fiqh, ruang lingkup syariah lebih luas dari fiqh, Syariah bersifat universal sedangkan fiqh lebih terkait dengan tempat dan massa
4.      Ijtihad, secara bahasa bermakna mengerahkan segenap daya upaya. Dalam terminologi fiqh, ijtihad berarti mengerahkan segala daya intelektual untuk menyimpulkan hukum suatu persoalan. Ulama yang melakkanya disebut mujtahid, jama’ nya  Mujtahidin.
5.      Taqlid,  mengikuti suatu mahdzab atau pendapat secara tanpa mengetahui asal-usul dan dalil yang menjadi dasarnya. Orang nya disebut Muqallid.
6.      Ittiba’ , mengikuti suatu mahdzab atau pendapat secara dengan mengetahui dasar atau dalil yang menjadi dasarnya. Orangnya disebut Muttabi’
7.      Istinbath,  berarti menarik, mengeluarkan atau menyimpulkan suatu hukum dari nash-nash Al-Qur’an atau Sunnah.
8.      Nash, teks hukum, perintah yang jelas. Nash biasanya mengacu pada kandungan Al-Qur’an dan Sunnah.
9.      Imam, secara literal berarti pemimpin, namun istilah ini menunjuk pada seseorang yang menjadi panutan dalam bidang kegamaan, seperti imam shalat berjamaah, imam mahdzab dan sebagainya. Jama’nya A’immah
10.  Madzhab,  secara bahasa, mahdzab berarti jalan, tempat berangkat atau waktu berangkat. Secara istilah, mahdzab maksudnya adalah suatu pendapat faham yang diikuti oleh seorang imam mujtahid dalam masalah masalah ijtihadiyah ( yang diijtihadkan )
11.  Jumhur, “mayoritas ulama” dalam konteks mahdzab empat, sebutan jumhur bisa berarti; 1)imam mahdzab empat jika mereka sepakat tentang suatu masalah, meski selain mereka berbeda.2)tiga imam mahdzab yang bersepakat, jika yang satunya berbeda;3) dua imam mahdzab jika mereka bersepakat, sedangkan dua lainya masing-masing punya pendapat yang berbeda.
12.  Ahl Al-Hadits,  golongan yang cenderung memusatkan perhatian kepada as-sunnah, dan sebagai salah satu kecenderungan perkembangan fiqh islam masa aqal ( abad ke 2 H )
13.  Ahl Ar-Rayi,  golongan yang berkecenderungan rasional.
14.  Istishab,  dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.
15.  Tarikh Tasyri,  Pengertian Tarikh Tasyri' secara bahasa berasal dari kata Tarikh yang artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Serta dari kata syariah adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan (aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak (tentang nilai baik dan buruk).
Tarikh Tasyri' memiliki banyak pengertian yang disebutkan oleh beberapa tokoh Islam diantaranya yaitu :
Tarikh al-Tasyri’ menurut Muhammad Ali al-sayis adalah “Ilmu yang membahas keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup) dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang berkaitan dengannya, (membahas) keadaan fuqaha dan mujtahid dalam merumuskan hukum-hukum tersebut”.
Tasyri’ adalah bermakna legislation, enactment of law, artinya penetapan undang-undang dalam agama Islam.

B.     Tarikh pada masa rasul

 Pada Masa Awal Islam, Islam datang untuk manusia secara keseluruhan, tetapi dimulai dengan memperbaiki keadaan orang-orang Arab yang telah Allah pilih sebagai penopang dan penyerunya. Keadaan orang-orang Arab dahulu terdiri dari dua perkara, yaitu berhalaisme dalam agama dan kekacauan dalam tatanan masyarakat. Penyelamat dari kebiadapan dan membebaskan mereka agar menyokong agama Allah diperlukan untuk memperbaiki kedua perkara yang ada dikalangan mereka. Selain menyelamatkan juaga mengarahkan mereka kepada akidah tauhid yang benar, seperti ikhlas beribadah kepada Dzat Yang maha tinggi, melepas akhlaq yang tercela dari jiwa mereka, menghapus adat istiadat yang buruk, mencetak mereka berakhlak mulia, berperangai terpuji, meletakkan aturan yang jitu yang mencangkup seluruh permasalahan mereka, agar mereka berjalan diantara petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan.
Periode ini berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22 tahun dan beberapa bulan saja. Tapi walaupun demikian periode ini membawa pengaruh dan kesan yang besar dan penting sekali sebab periode ini telah meninggalkan beberapa ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan as- Sunnah, dan juga telah meninggalkan berbagai dasar atau pokok Tasyri’ yang menyeluruh dan juga sudah menunjuk berbagai sumber dan dalil hukum yang untuk mengetahui hukum bagi suatu persoalan yang belum ada ketetapan hukumnya. Dengan demikian periode Rasulullah ini telah meninggalkan dasar pembentukan  undang-undang yang sempurna. Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam Periode I (Pada Masa Rasulullah) situasi masyarakat Arab pra Islam sebelum Nabi SAW diutus, orang-orang Arab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka dikendalikan oleh kebiadaban, dinaungi oleh kegelapan dan kejihiliahan, serta tidak ada agama yang mengikat dan undang-undang yang yang harus mereka patuhi. Hanya sedikit saja dari mereka yang berjanji dengan aturan yang dapat menyelesaikan perselisihan mereka, adat yang dianggap baik serta langkah yang mulia. Bangsa Arab pra Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis Arab srategis, membuat Islam mudah tersebar ke berbagaii wilayah. Hal lain yang mendorong cepatnya laju perluasan wilayah adalah berbagai upaya yang dilakukan umat Islam. Adapun ciri-ciri utama tatanan Arab pra Islam adalah sebagai berikut  :
1.      Menganut paham kesukuan (kailah)
2.      Memiliki tata sosial polotik yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas
3.      Mengenal hierarki sosial yangg kuat
4.      Kedudukan perempuan cenderung direndahkan.
Periode ini terdiri dari dua fase atau masa yang masing-masing mempunyai corak yang berbeda-beda, yaitu fase Makkah dan Madinah.
Pada fase Makkah ini Islam datang untuk memperbaiki keadaan masyarakat Arab. Pada waktu itu penduduk Arab kerap kali terjadi perselisihan, hal ini dikarenakan pada masa itu penduduknya masih dalam kebodohan. Maka dengan hadirnya Islam dikalangan masyarakat Arab dapat merubah pola pikir masyarakat Arab, meskipun pada awalnya terjadi perselisihan.
Setelah Islam mulai berkembang dan maju dalam beberapa aspek, maka dengan cepat Islam menyebar ke berbagai wilayah di sekitar Arab. Pada periode ini terdiri dari dua fase, yaitu fase Makkah dan fase Madinah. Yang mana pada fase Makkah ini bermula semenjak Rasul masih menetap di Makkah, yakni selama 12 tahun 15 bulan dan 3 hari. Pada fase ini umat Islam masih terisolir, karena pada waktu itu umat Islam masih sangat sedikit jumlahnya, sehingga tidak memungkinkan untuk berdakwah secara terang-terangan, karena dalam catatan sejarah kala itu masyarakat Quraisy memusuhi dan menolak akan adanya Islam sebagai agama mereka. Mereka meyakini bahwa Islam adalah agama yang bertentangan dengan keyakinan yang telah mereka anut secara turun-temurun dari nenek moyangnya. Pada masa itu masyarakat Quraisy masih meyakini bahwa berhala menjadi sesembahan mereka dan bisa mengabulkan semua yang mereka inginkan. Sehingga untuk merubah tradisi yang semacam ini butuh pendekatan yang cukup halus, hingga pada akhirnya sebagian dari mereka mulai meninggalkan keyakinan mereka selama ini dan berpindah untuk mengikuti ajaran Islam. Fase Makkah yakni semenjak Rasul Allah masih menetap di Makkah, selama 12 tahun 15 bulan dan 3 hari yaitu dari 18 Ramadhan tahun 41 sampai dengan wal bulan Rabi’ul wal tahun 54 dari kelahiran beliau. Dalam fase Makkah ini umat islam masih terisolir, jumlahnya masih sedikit, keadaan masih lemah , belum bisa membentuk suatu umat yang mempunyai pemerinntahan yang kuat. Oleh karenanya perhatian Rasul Allah pada periode ini dicurahkan semata-mata kepada penyebaran/penanaman da’wah untuk mengakui keEsaan Allah serta berusaha memalingkan perhatian umat manusia dari menyembah berhala dan patung. Di samping beliau membentengi diri dari abeka rupa gangguan orang-orang yang sengaja menghentikan/menghalang-halangi da’wah beliau dan pertentangan mereka terhadap orang-orang yang memberdayakan beliau, serta orang yang sudah beriman kepada beliau.
Sedangkan pada fase yang kedua adalah fase Madinah, yakni dimulai semenjak Rasulullah hijrah ke Madinah. Dalam catatan sejarah fase ini berjalan selama kurang lebih 9 tahun 9 bulan 9 hari yaitu tepatnya pada awal bulan Rabi’ul Awal tahun 54. Hal ini bermula karena adanya tekanan dari masyarakat Quraisy yang benci terhadap Islam yang sangat kuat, sehingga pada akhirnya Nabi memutuskan untuk berhijrah ke Madinah beserta para pengikutnya. Nabi tinggal di Madinah selama 10 tahun yaitu dimulai dari waktu hijrah hingga wafatnya. Ada beberapa ciri dari faase ini, diantaranya adalah :
a.       Islam tak lagi lemah, karena jumlahnya yang kian banyak
b.      Menghilangkan permusuhan dalam rangka mengesakan Allah
c.       Adanya ajakan untuk bermasyarakat
d.      Membentuk aturan damai dan perang
Maka dengan kondisi masyarakat yang demikian, yang disyariatkan pada fase Madinah adalah hukum kemasyarakatan yang mencakup muamalah, ijtihad, jinayat, mawaris, wasiat, talak, sumpah dan peradilan.
     
      2.4.2. Pemegang Kekuasaan Tasyri’ Pada Periode Nabi
Sumber atau kekuasaan Tasyri’ pad periode ini dipegang oleh Rasulullah sendiri dan tak seorangpun dari umat Islam selain beliau boleh menyendiri dalam menentukan hukum pada suatu masalah baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Sebab dengan adanya Rasul ditengah-tengah mereka serta dengan mudahnya mereka mengembalikan setiap masalah kepada beliau maka tak seorangpun dari mereka berani berfatwa dengan hasil ijtihadnya sendiri.
Bahkan jika mereka dalam menghadapi suatu peristiwa atau terjadi persengketaan maka mereka langsung mengembalikan persoalan itu kepada Rasulullah dan beliaulah yang selanjutnya akan memebrikan fatwa kepada mereka, menyelesaikan sengketa, menjawab pertanyaan dari masalah yang mereka tanyakan kepada Rasul.

             2.4.2. Sumber Perundang-undangan Pada Periode Rasul
Penentuan hukum pada masa Rasul mempunyai dua macam sumber, yaitu :
1.       Wahyu ilahi (Al Qur’an)
2.       Ijtihad Rasul sendiri
Jika terjadi sesuatu yang menghendaki adanya pembentukan hukum yang disebabkan karena munculnya suatu perselisihan atau masalah diantara umat Islam maka pemintaan fatwanya itu kepada Rasul serta Rasul menfatwakannya kepada mereka berdasarkan wahyu (al-Qur’an) yang turun kepada Rasul pada waktu itu. Disamping itu Rasul juga mempunyai wewenang untuk berijtihad, namun hal ini terbatas pada masalah muamalah saja. Sedangkan pada masalah ubudiyyah Rasul menfatwakannya berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya.

C.    Tarikh pada masa sahabat

Karakteristik Metode Tasyri’ Sahabat
Analogi/Qiyas; diyat gigi graham sama dengan jari.
Konsensus/Ijma’
Distingsi Tasyri’ Masa Sahabat
-          Posisi pengganti Nabi,
-          Riddah pembayar zakat
-          Masa iddah
-          Ghanimah
-          Ratapan orang mati
Sumber Penetapan Hukum Islam Pada Masa Sahabat
a.      Sumber Hukum Pada Masa Sahabat
Nabi Muhammad SAW telah wafat, al-Qur’an telah sempurna diturunkan dan tidak akan pernah turun lagi, penjelasan hukum dari sunnah Nabi pun terhenti, sedangkan persoalan kemanusiaan yang menyangkut masalah hukum terus bermunculan seiring dengan perubahan besar yang terjadi akibat perluasan wilayah Islam dan semakin kompleksnya permasalahan hidup masyarakat yang harus segera diselesaikan apapun keadaannya.
Pada waktu itu, persoalan dalam masalah hukum berkembang. Perkembangannya tidak sebatas pada amaliyah yang menjadi objek hukumnya saja, tetapi juga pada masalah metodologi pengambilan hukum dari penunjukan nash yang ada. Dalam hal ini terdapat tiga persoalan yang paling pokok, yakni; pertama, munculnya kejadian-kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum sedangkan hukumnya tidak ditemukan dalam nash secara jelas (Sharih). Contohnya adalah tentang hukum membakar harta anak yatim. Karena semua orang tahu bahwa membakar itu sama akibatnya dengan memakan, maka hukumnya sama dengan memakan harta anak yatim. Penggunaan metode pengambilan hukum semacam ini disebut dengan mafhum.[8] Contoh lainnya adalah tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah dalam urusan dunia yang dipahami oleh para sahabat dapat dihubungkan dengan pemimpin urusan ibadah. Penunjukan khalifah itu tidak terdapat dalam al-Qur’an, namun dianalogikan dengan penunjukan Nabi atas Abu Bakar untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat ketika sakit.[9]
Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an amupun Sunnah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.[10] Persoalan dalam bentuk kedua merupakan perubahan keadaan yang menghendaki perubahan pemikiran. Contohnya adalah kewajiban membayar zakat pada zaman Nabi dilakukan atas dasar kesadaran umat waktu itu, kemudian Nabi melakukan pemungutan zakat secara lemah lembut. Akan tetapi pada masa Abu Bakar terjadi pembangkangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat. Karena itu, beliau mengambil sikap tegas dan keras, yakni menetapkan untuk memerang mereka yang enggan membayar zakat. Contoh lainya adalah tentang larangan meminum khamar secara tegas, dan Nabi menetapkan sanksi bagi peminumnya dengan didera sebanyak 40 kali. Dengan sanksi itu cukup efektif dalam upaya menjerakan peminum khamar. Akan tetapi pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah peminum yang dihukum 40 kali dera itu tidak efektif mencegah peminum khamar untuk mengulangnya. Akhirnya beliau menambahkan hukuman dengan 80 dera.[11]
Ketiga, dalam al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat kesuliatan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.[12] Atau pemahaman atas dua ayat yang terpisah untuk satu kasus tertentu yang tidak ditunjuk oleh keua ayat tersebut. Contohnya adalah wanita yang dicerai suaminya ketika hamil ditetapkan hukum iddahnya dengan melahirkan menurut al-Qur’an surat al-Talaq ayat 4, sedangkan tentang iddahnya istri yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari sesuai dengan penunjukan secara pasti dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 234. Adapun iddah bagi isteri hamil yang ditinggal mati suaminya tidak terdapat kepastian hukumnya dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Nabi. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Ali bin bi Thalib berpendapat dan berfatwa iddah wanita itu adalah masa yang terpanjang diantara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut. Sedangkan Umar bin Khattab berpendapat bahwa iddahnya itu tetap sampai melahirkan anak, meskipun belum sampai masanya 4 bulan 10 hari.[13]
Diantara perbedaan pendapat yang berkembang dikalangan para sahabat dalam memahami hukum Allah, tidak sedikit pula hukum suatu masalah yang disepakati oleh semua kalangan sahabat sehingga menjadi ijma’.[14] Bahkan kerap kali Abu Bakar bila menghadapi kejadian baru dan tidak temukan hukumnya di dalam al-Qur’an maupun Sunnah, beliau mengumpulkan ulama sahabat untuk bermusyawarah menemukan hukumnya. Jika sahabat telah sepakat dengan hasilnya, maka jadilah ijma’. Hal demikian diikuti oleh Umar bin Khattab disamping melakukan ijtihad sendiri kemudian beliau bertanya kepada Abu Bakar bagaimana penetapannya dan beliau amalkan jika penetapan Abu Bakar tidak menentangnya. Begitu juga dengan Utsman dan Ali. Mereka sangat berhati-hati dan meneliti terlebih dahulu dalam menerima hadits hingga suatu saat pernah ada seorang perawi yang meriwayatkan sebuah hadits baru dapat diterima setelah melakukan sumpah terlebih dahulu berikut disertakan pula saksinya.[15]
Dengan memahami uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber hukum pada masa sahabat adalah al-Qur’an, hadits dan ra’yu atau ijtihad. Adapun ijtihad yang dilakukan pada masa ini adalah ijtihad fardi dan ijtihad jama’i.
b.      Penetapan Hukum Pada Masa Sahabat
Keterbatasan teks al-Qur’an dan Sunnah tidak membuat para sahabat panik dalam menghadapi persoalan hukum. Mereka sudah terlatih dan tidak menemukan kesulitan ketika melakukan ijtihad. Dalam menetapkan hukum, para sahabat terlebih dahulu meneliti al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Bila ada ketentuan hukum dalam al-Qur’an mereka putuskan berdasarkan ketentuan al-Qur’an, apabila tidak ditemukannya dalam al-Qur’an maka dicarilah ketentuannya dari hadits, Jika ternyata tidak ditemukan hadits menurut apa yang diketahuinya, maka mereka akan menanyakannya terlebih dahulu kepada sahabat Nabi yang lain apakah Rasul SAW telah memutuskan persoalan yang sama di zamannya. Jika ada yang tahu, mereka menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari jawaban sahabat lain tentang sebuah riwayat persoalan tersebut setelah dianggap cukup memenuhi syarat kebenaran riwayat itu.[16]
Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar ketika mendapat pertanyaan tentang hak waris seorang nenek, beliau tidak serta merta menetapkan bagiannya sebelum meneliti terlebih dahulu kepada sahabat lain. Beliau berkata bahwa di dalam al-Qur’an nenek tidak mendapat bagian apapun, namun beliau belum mengetahui secara pasti apakah ada dalam hadits atau tidak. Beliaupun menemui dan menanyai setiap sahabat berkaitan dengan masalah tersebut sampai akhirnya ditemukan sebuah riwayat yang berasal dari Qubaisah ibn Zueb dengan didatangkan kepadanya dua sahabat Nabi bernama Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah sebagai saksi atas riwayat tersebut. Kedunya menyatakan bahwa Rasul pernah memberikan bagian nenek sebesar 1/6 dari harta pusaka.[17]
Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan berkaitan dengan riwayat Nabi dalam sebuah persoalan, maka cara yang terakhir adalah dengan mengumpulkan para ulama sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan tadi. Jika terjadi kesepakatan diantara mereka, maka menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan hukum.[18] Atau mereka melakukan ijtihad sendiri dan mengeluarkan fatwanya kemudian didukung oleh pendapat sahabat lain. Atau justeru sahabat lain pun melakukan ijtihad dengan hasil penetapan hukum yang berbeda. Tergantung pada bagai mana seorang sahabat itu memahami nash al-Qur’an maupun hadits atau metode apa yang dilakukan dalam berijtihadnya. Artinya, perbedaan dalam penetapan hukum itu tetap saja terjadi. Bahkan tidak jarang terjadi perbedaan pendapat diantara hasil ijtihad sahabat yang satu dengan yang lainnya. Demikian yang dilakukan para sahabat dalam memutuskan persoalan hukum.
Untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi, diantara mereka ada yang membuat ketentuan langkah-langkah penetapan hukum (ijtihad) atau yang dikenal dengan istilah Thuruq al-Isthinbat seperti langkah-langkah di atas. Hal demikian yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar, sehingga pada masa itu sering terjadi ijma’. Setelah Utsman dan Ali menjadi khalifah, hal itu jarang dan sulit terjadi karena telah terjadi penyebaran para sahabat ke berbagai daerah dan berlanjut dengan persoalan politis pasca meninggalnya Utsman.
Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat
Para sahabat dalam menetapkan hukumnya tidak saja bertumpu pada nash al-Qur’an maupun hadits saja. Kejadian-kejadian yang tidak terdapat dalam nash sharih mereka tetapkan ketentuan hukumnya menggunakan akal yang bersandarkan pada dua sumber utama. Ada kecenderungan berbeda yang dilakukan para sahabat dalam berijtihadnya. Kelompok pertama, menggunakan ijtihad terhadap ma’qul al-nash secara dominan. Kelompok kedua, menggunakan ijtihad terhadap ma’qul al-nash dalam kondisi tertentu saja. Namun secara lebih rincinya, perbedaan pendapat yang  terjadi dikalangan sahabat itu adalah disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut;
1.      Perbedaan dalam cara memahami ayat-ayat al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum islam. Bagi setiap orang yang akan menetapkan suatu ketentuan hukum terlebih dahulu akan merujuk kepada al-Qur’an, baru jika tidak mendapatkan ketetapan hukumnya maka akan dicari dalam hadits. Sekalipun para sahabat itu orang yang pandai dalam memahami al-Qur’an dan mengetahui langsung Asbab al-Nuzulnya perbedaan pendapat tidak dapat dihindari. Hal ini dikarenakan oleh sifat al-Qur’an yang memberi peluang untuk ditafsirkan berbeda disebabkan terdapat kata yang bermakna ganda. Disamping itu, perbedaan tingkat ilmiah dan perbedaan lama masa bergaul dengan Rasul SAW diantara mereka turut serta menjadi penyebab terjadinya perbedaan pendapat.
Disamping itu, hukum yang ditentukan oleh al-Qur’an masing-masing berdiri sendiri dan tidak terdapat ketentuan untuk mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab pada satu kasus. Sebagai contoh, hukum wanita hamil yang ditinggal mati suaminya.
2.      Perbedaan cara memahami sunnah
Para sahabat dalam memahami sunnah Nabi pun berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan intensitas pertemuan para sahabat dengan Nabi. Ada yang hampir selalu bersama Nabi dalam waktu yang cukup lama, dan ada juga yang hanya beberapa kali dalam waktu tertentu dapat bertemu dengan beliau karena disebabkan oleh keadaan-keadaan tertenu yang menyulitkan mereka untuk terus bersama Nabi.
Dengan demikian, benar bahwa tidak seorang sahabatpun yang dapat mengetahui seluruh hadits Nabi, walaupun Abu Bakar sendiri, satu-satunya sahabat yang jarang sekali berpisah dengan Rasul.
Disamping itu, kadang-kadang suatu riwayat telah sampai kepada seorang sahabat, dan sahabat lain belum mengetahuinya atau belum sampai kepada sahabat lain sehingga diantara mereka ada yang menggunakan ra’yu. Sebagai contoh, Abu Hurairah yang berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa bulan Ramadlan. Pendapatnya didengar oleh Aisyah yang berpendapat sebaliknya. Aisyah beralasan dengan peristiwa yang terjadi dengan Nabi. Kemudian Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya. Disamping itu pula perbedaan pendapat pun bisa terjadi disebabkan oleh perbedaan dalam menta’wilkan sunnah.
3.      Perbedaan pendapat karena berlainan metode ijtihad
Berbeda pendapat berdasarkan ijtihad pada masa sahabat disebabkan oleh seberapa besar penggunaan akal dalam menentukan hukum yang dilakukannya. perbedaan itu bisa dilihat dari sejauh mana seorang sahabat menentukan hukum suatu perkara dengan pertimbangan nash dan pemikirannya.[19] Dapat kita ambil contoh, perbedaan pendapat antara Umar dan Ali tentang perempuan yang menikah dalam masa iddah. Menurut Umar, perempuan itu jika belum berhubungan suami isteri, harus dipisah dan menyelesaikan masa iddahnya. Jika sudah berhubungan badan, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua masa iddah, masa iddah dari suami pertama dan masa iddah dari laki-laki berikutnya. Sedangkan menurut Ali, perempuan itu hanya diwajibkan menyelesaikan masa iddah yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar berpegang pada tujuan hukum, yakni agar idak ada yang melakukan perbuatan yang sama.

D.    Tarikh Tasyri masa tabi’in
A.    Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Tasyri’
Sejak masa khulafaur rasyidin berakhir, fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau sahabat yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan Bani Umayah menggunakan sistem monarki yang menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya, yang bersifat kekholifahan.
Umat Islam pada saat itu terpecah menjadi tiga kelompok; Khowarij sebagai penentang Ali, Syi’ah sebagai pendukung Ali, dan kelompok mayoritas (jumhur). Munculnya keompok-kelompok itu berpengaruh besar dalam mewarnai proses perkembangan hukum Islam.
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Walaupun panasnya suasana politik yang dipengaruhi oleh golongan-golongan pemberontak yakni golongan Khawarij dan Syi’ah mewarnai pada periode ini, akan tetapi fase-fase ini disebut juga masa keemasan Islam yang mana tumbuh banyak perkembangan-perkembangan keilmuan, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya:
1.      Bidang politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Pada bidang ini timbul tiga golongan politik, yaitu: Khawarij, Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing kelompok tersebut berpegang kepada prinsip mereka sendiri[1].
2.      Perluasan Wilayah
Sebagimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah berjalan pada periode khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode Tabiin mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat[2] dengan demikian telah banyak daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh Islam, sehubungan dengan itu semangat dari para ulama untuk mengembalikan segala sesuatunya terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang seiring banyak terjadi perkembangan kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan bersama.
3.      Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu; aliran Hadits yaitu para ulama yang dominan menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu. Dan kedua adalah ulama aliran ra’yu yang banyak dalam penggunaan pemikirannya dengan  ra’yu dibandingkan dengan Hadits, dengan demikian adanya perkembangan pemikiran yang dapat mendorong perkembangan hukum Islam.[3]
4.      Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Al-hadits sebagi pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan sehingga keputusan-keputasan itu dapat dijadikan yurispudensi pada masa hakim saat ini.
5.      Lahirnya Para Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan muslim seperti Abi Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan juga para sahabat-sahabatnya dengan pemikiran-pemikiran yang dimiliki telah berperan dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat.
6.      Kembalinya Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak permaslahan-permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu para pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan permasalahan-permasalahan terjadi pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli perundang-undangan.
Pada masa Abu Bakar dan Ustman sahabat dilarang keluar dari madinah, agar tidak menyebarkan hadits secara sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang penting.
Sumber-Sumber Tasyri Pada Zaman Tabi’in
Sebagaimana pada periode Sahabat-sahabat besar, sumber perundang-undangannya juga tidak jauh berbeda, sumber-sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat macam,[4] yakni:

Al-Qur’an
As-Sunnah
Al-Ijma’
Al-Qiyas
          
Apabila terjadi suatu peristiwa para ahli fatwa merujuk pada kitabulla. Mereka memperhatikan nash yang menunjuk kepada hukum yang dimaksud, dan memahami nash itu. Pada periode ini ada dua hal yang bisa mempengaruhi segi pemeliharaannya, yakni; penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam perubahan. Dari segolongan umat Islam ada juga yng bersungguh-sungguh menghafal al-Qur’an dan memperbaiki system atau bentuk penulisannya serta pemberian baris dan harokat.
Jika yang mereka maksud tidak terdapat dalam kitabullah mereka baru beralih memperhatikan Sunnah Rasul. Karena jumhur beranggapan bahwa as-Sunnah itu menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi untuk menerangkan al-qur’an. Dan dikalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini. Orang yang pertama kali memperhatikan kekurangan ini adalah Imam bin Abdul aziz pada awal abad ke II H. Ia menulis pada pekerjanya di Madinah Abu Bakar Bin muhammad bin Amr bin Hazm[5]:
“Lihatlah hadits-hadits Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada, kemudian tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya) ulama’. (Diriwayatkan oleh Malik dalam Mwatha’ dan riwayat Muhammad bi hasan)
Jika mereka tidak mendapatkan pula dalam nash-nash hadits barulah mereka berijtihad dengan mempergunakan Qiyas memperhatikan ruh (jiwa) syari’at dan memperhatikan kemashlahatan umat. Apabila ijtihad para sahabat itu dilakukan bersama-sama dengan mengambil keputusan bersama, maka itu disebut dengan Ijma’ sahabat.[6]
Pada zaman Nabi dan kholifah, berjalannya hukum Islam senantiasa sejalan dengan kebijaksanaan para pemegang kekuasaan pemerintahan karena kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan langsung oleh pemimpin Negara. Akan tetapi setelah kepemimpinan berpindah ketangan Bani Umayah.
Perkembangan hukum Islam menunjukan arah yang berlainan. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai sandaran tempat kembali bagi pihak-pihak yang berselisih, sejak zaman muawiyah berubah sifatnya menjadi alat dan pelindung bagi kepentingan-kepentingan golongan yang sedang barkuasa.
Karena pada tahun-tahun permulaan, perhatian pemerintah tercurahkan untuk menghadapi peperangan dengan Negara-negara lain, maka perkembangan hukum Islam banyak sekali mendapat pengaruh dari keputusan-keputusan para qodhi yang diangkat Gubernur dan fatwa-fatwa para ahli hukum diluar pemerintahan yang dianggap mampu dan berpengetahuan luar tentang Al-Qur’an dan Al-sunnah.
Secara umum tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh sahabat dalam mengeluarkan hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan diantaranya mencari ketentuan dalam Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka mencari dalam As-Sunnah. Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian sumber hukum pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijmak sahabat, dan ijtihad.
Pengaruh Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu Terhadap Tasyri
Pada masa tabi’in ini para ulama’ dibedakan menjadi dua aliran yaitu Al-Hadits (madrasah al-madinah), al-hadits ra’yu (madrasah al-kufah). Al-hadits adalah golongan yang banyak menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan ra’yu. Imam malik brpendapat bahwa, ijma’ penduduk madinah merupakan hujjah yang wajib diikuti. Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini terpecah, seperti aliran maikiyah, syafi’iyah, hanbaliyah, dan hanafiyah.
Adapun ahli ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu ditambah hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum ini semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf. Dan pada saat yang sama, semakin memotifasi perkembangan hukum Islam.
Kedua aliran tersebut, masing-masing memiliki pendapat dan pengikut sendiri. Disisi lain munculnya dua aliran pemikiran hukum ini merupakan bukti bahwa dalam Islam terdapat kebebasan berfikir dan masing-masing saling menghargai perbedaan pendapat diantara mereka.
Pemikiran Hukum Islam
1.            Khawarijj

a. Pemimpin tidak harus dari Quraisyi, setiap orang berhak menjadi pemimpin, baik       
     yang berasal dari kalangan merdeka maupun budak.
b. Dalam Al-Qur’an terdapat sangsi bagi pelaku zina, yaitu dicambuk seratus kali. Disamping itu dalam Al-Sunnah, ditentukan bahwa sangsi bagi pelaku zina itu dirajam. Khawarij tidak menerima dan tidak melaksanakan tambahan sangsi bagi pelaku zina yang terdapat dalam As-Sunnah.
c. Menikahi cucu perempuan dibolehkan, sebab yang diharamkan dalam Al-Qur’an    
    adalah anak, sedangkan cucu tidak diharamkan.
d Menikah dengan perempuan yang bukan sekte khawarij tidak sah sebab mereka
    dianggap kafir.
e Pemikiran khawarij pada umumnya terpaku pada teks ayat Al-Qur’an bahkan
    cenderung mengabaikan hadits yang dianggap tidak terlalu kuat untuk menafsirkan
    Al-Qur’an, dalam masalah politik mereka menampilkan pemikiran yang
   demokratis.

2        Syiah

a.  Menurut syi’ah, hukum Islam secara umum ada dua, yaitu Al-Qur’an dan Al-
     Hadits.
b.  Nikah mut’ah diperbolehkan dan tidak menjadi sebab saling mewarisi antara suami     
     dan Istri dan tidak memerlukan talak.
c.       Lelaki muslim tidak boleh menikah dengan wanita nasrani.
d.      Dalam masalah politik, pengganti nabi Muhammad mestinya Ali bin Abi Thalib, sedangkan Abu Bakar telah merebut kepemimpinan Ali.
3        Jumhur
a.       Kepemimpinan mesti dipegang oleh Quraisy.
b.      Penolakan terhaap keabsahan nikah mut’ah.
c.       Pendapat ini sejalan dengan pendapat Umar bin Khattab.
d.      Nabi Muhammad tidak mewariskan harta, karena terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa “kami seluruh nabi tidak mewariskan harta-harta yang kami tinggalkan adalah shadaqah.
e.       Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode sampai empat orang sebagai penafsiran atas surat an-nisa’ ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan muslim.

E.     Munculnya Imam Mahdzab
Masa keemasan dan embentukan mazhab-mazhab ditandai dengan kemunculan imam-imam mujtahid besar, terutama:
1.      Al-Imam Abu Hanifah, An-Nu’man bn Tsabit (80-150H)
Dasar – dasar hukum : Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma, Qiyas, Istishan
2.      Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashabahi (93-179H)
Dasar-dasar Hukum : Al-Qur’an, As-Sunah, Amal ahli Madinah, Fatwa sahabat, Qiyas, Al- Maslahah Mursalah, Istishan, Adz-dzariah
Tersebar di Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika
3.      Al- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204H)
Dasar-dasar Hukum : Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma, Qiyas
Tersebar di sebagian Mesir, Palestina, Yaman, sedikit di IRAK, Pakistan, saudi arabia, Indonesia, Malaysia dan Bruneidarussalam
4.      Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syabani (164-241H)
Dasar-dasar Hukum : Al-Qur’an, As-Sunnah, Fatwa Sahabat, Hadis Mursal, Qiyas
Tersebar di Jazirah Arab, di daratan Mesir serta di Damaskus (Syuriah)

Murid-murid para imam mujtahid ini dengan aktif menghimpun karya dari pendapat pendapat guru mereka, menguraikannya serta menyebarkannya ke tengah kaum muslimin. Inilah yang kemudian mendorong terjadinya transfirmasi karya, pendapat-pendapat dan ijtihad-ijtihad para imam tersebut menjadi “Mahdzab” secara tersendiri.

F.      Pembukuan hadits 
A.    Sejarah pembukuan hadis
Pertama kali yang mempunyai ide untuk menulis hadis adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan ulama yang pertama kali menuliskan hadis adalah Ibn Syihab al Zuhri. Ulama yang pertama kali membukukan hadis adalah Malik bin Anas (179H) di madinah dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, dan Sufyan Tsaud (161 H) di kufah, Hammad Bin salamah dan Said bin Arubah di Basrah

B.     Tahap-tahap pembukuan Hadis
1.      Pada awal penulisan hadis masih seperti ulama-ulama di atas, hadis masih bercampur dengan fatwa sahabt tabi’in
2.      Tahap kedua mulai dipisahkan dari yang lainnya pada permulaan tahun 200 H. Para ulama menulis hadis berdasarkan sanad awal, yaitu dari para sahabat bukan berdasar pada topik masalah. Muhammad Abdullah Bin Musa Al Kufi, Musnad Musaddad bin Masrahah Al Bisri
3.      Tahap Selanjutnya adalah menyelesaikan, menyeleksi hadis secara ketat terhadap hadis. Salah satu kritik sanad yang dikembangkan adalah al jarh wa ta’dil





Komentar

Postingan populer dari blog ini

SKENARIO SIDANG PRAKTEK PERDATA PERKARA WARIS PENGADILAN AGAMA SIDANG I : contoh skenario Tugas Pak kamarusdiana

Makalah Tafsir Ahkam surat an-nisa ayat 22 dan 23